Senin, 20 Maret 2017

Sejarah Bahasa Indonesia

                                                                              A.    Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.
      Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di Pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebutyang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas ddari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
      Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnta diaspora keluar bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin luas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
      Bahasa Melayu Kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat “o” seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini. Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat “e”.
      Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan Timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari Pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari Pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan) dan Dayak Iban yang semuanya berlogat “a” seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan Kepulauan Nusantara. Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda0. Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan, dan sejarahwan menjelaskan sebagai berikut : “Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Mlaysia tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa komunitas keturunan Batak yang mengaku orang Kampong – Puak Melayu. Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti Kuna yang ditemukan di Sumatera bagian Selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sansekerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti Samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas dikalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Potugis, diikuti oeh Belanda, Spanyol, dan Ianggris meninggalkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun digunakan oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian local dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan Timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini amalah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varin lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari Istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara : bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada Bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standarisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun di lakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penertiban karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah “embrio” bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu muali terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) dibawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Mrah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perebndaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
B.     Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan bahasa Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Adapun ejaan yang kita gunakan pada saat ini adalah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Namun sebelum itu telah digunakan beberapa ejaan yang lain.
Ejaan Van Ophuysen
Ejaan ini digunakan sejak tahun 1901 sampai Maret 1974 di Indonesia. Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin, ciri-cirinya huruf “I” untuk membedakan antara huruf I sebagai akhiran dan karenanya harus dengan diftong seperti mulai dengan ramai, juga digunakan untuk huruf “y” soerabaia. Huruf “j” untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang dan sebagainya. Huruf “oe” untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dan sebagainya. Tanda diakritik seperti koma, ain, dan tanda, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, akal’, ta’, pa’ dan sebagainya.
Ø Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini dikenal dengan nama Ejaan Soewandi. Ciri-ciri:
·         Huruf “oe” diganti dengan “u” pada kata-kata guru, itu, umur, dan sebagainya.
·         Bunyi Hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan “k” pada bunyi kata-kata tak, pak, rakjat, dan sebagainya. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Awalan di- dalam kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Ø Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Di kenal pada tahun 1959, karena perkembangan politik selama bertahun-tahun berikutnya diurungkanlah peresmian ejaan ini. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan Putusan Presiden No.57 Tahun 1972.
C.     Kongres Bahasa Indonesia
1.      Kongres Bahasa Indonesia I
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendikiawan dan budayawan Indonesia pada saat itu. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
2.      Kongres Bahasa Indonesia II
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk ter-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan dihadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Diisempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
3.      Kongres Bahasa Indonesia III
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indoonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan , dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
4.      Kongres Bahasa Indonesia IV
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
5.      Kongres Bahasa Indonesia V
Tanggal Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seuruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
6.      Kongres Bahasa VI
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
7.      Kongres Bahasa Indonesia VII
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
8.      Kongres Bahasa Indonesia VIII
Pada bulan Oktober tahun 2003, para pakar dan pemerhati Bahasa Indonesia akan menyelenggarakan Kongrres Bahasa Indonesia ke- VIII. Berdasarkan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada bulan Oktober tahunn 1928 yang menyatakan bahhwa para pemuda memiliki satu bahasa yakni bahasa Indonesia, maka bulan Oktober setiap tahun dijadikan Bulan Bahasa. Pada setiap bulan bahasa berlangsung seminar Bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan Bahasa Indonesia. Dan bulan bahasa tahun ini mencakup juga Kongres Bahasa Indonesia.
9.      Kongres Bahasa Indonesia IX
Dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda,  dan 60 tahun berdirinya Pusat Bahasa, pada tahun 2008 dicanangkan sebagai tahun Bahasa 2008. Oleh karena itu, sepanjang 2008 telah diadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Sebagai puncak dari seluruh kegiatan kebahasaan dan kesastraan serta peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda, diadakan Kongres Bahasa Indonesia yang kke- IX pada tanggal 28 Oktober-1 November 2008 di Jakarta.
Kongres tersebut akan membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa media massa. Kongres bahasa ini berskala internasional dengan menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri. Para pakar bahasa dan sastra yang selama ini telah melakukan penelittian dan mengembangkan bahasa Indonesia di luar negeri sudah sepantasnya diberikan kesempatan untuk memaparkan pandangannya dalam kongres tahun ini.

Sumber :

Suparlan (2014):Panduang Lengkap Ejaan Yang Disempurnakan. Yogyakarta, PT Pustaka Baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar